July 27, 2024
Potensi Untung Bisnis E-Wallet Pemodal Besar, BUMD, hingga Bumdes

Potensi Untung Bisnis E-Wallet Pemodal Besar, BUMD, hingga Bumdes

Banyaknya perusahaan besar yang masuk dalam bisnis e-wallet ini lantaran melihat peluang yang begitu besar untuk bertumbuh di masa depan

 

Oleh  : Imam S Ahmad Bashori Al-Muhajir
Editor: Moh Ardi, Munichatus Sa’adah SPsi

 

E-wallet atau dompet digital memang salah satu daya tarik dalam mempermudah transaksi.

Melalui transaksi e-wallet, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh pengguna, tidak hanya sekedar pembayaran saja, namun juga ada tawaran promo, diskon dan cashback di beberapa merchant.

Hal ini lantas menjadi peluang bagi beberapa perusahaan untuk mengembangkan kemudahan dalam jaringan ekosistemnya.

Beberapa perusahaan besar yang mengembangkan bisnis financial technologi (fintech) seperti dari Grup Astra, Emtek, Salim Group, Djarum Group, dan Lipoop.

 

Bisa melihat peluang

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, banyaknya perusahaan besar yang masuk dalam bisnis e-wallet ini lantaran melihat peluang yang begitu besar untuk bertumbuh di masa depan.

Di sisi lain, pertumbuhan e-wallet di masa pandemic Covid-19 terus menunjukkan hal yang positif, yang menggambarkan potensi ke depannya dengan growth yang cukup besar.

Pandemi juga berperan menumbuhkan sektor fintech, dimana banyak masyarakat yang membutuhkan jenis transaksi yang mudah dan efisien di tengah keterbatasan saat ini.

“Prospek ke depan sepertinya masih positif, walaupun persaingan cukup ketat. Karena dalam konteks ini banyak pemain-pemain lama penyedia layanan e-wallet. Di sisi lain, pertumbuhan industry ini didorong oleh trend kelas menengah yang didominasi milenial, yang umumnya juga merupakan pengguna e-wallet”, jelas Eko. (Jumat,17/9/2021).

Eko juga mengatakan, bagi milenial kelas menengah yang hidup di perkotaan, menggunakan e-wallet adalah hal yang menjdi trend. Sehingga masih ada peluang bagi e-wallet untuk tumbuh dan dikembangkan dengan kelebihan masing-masing.

“Ada beberapa yang membentuk ekosistem seperti Shopee Pay, atau di luar itu ada Gojek, melalui GoPay yang tergabung dalam ekosistem Gojek,” jelas dia.

Namun demikian, kehadiran e-wallet tidak mampu menggantikan uang konvensional atau uang fisik yang umum digunakan untuk bertransaksi. Eko optimis pertumbuhan e-wallet akan positif didukung oleh antusias masyarakat yang tergiur dengan kemudahan dan kelebihan-kelebihan e-walet tersebut.

 

Bakar Duit

Eko juga menyoroti bentuk-bentuk pemanis yang ada dalam platform e-wallet, seperti diskon, promo, atau bahkan cashback. Namun, bagi perusahaan ini tentunya membutuhkan modal ekstra untuk bertahan diantara pemain lain yang juga memberiakn promo dan diskon sejenis.

“Kalau diperhatikan, memang bakar duit itu tidak terelakkan. Bisa dibilang mau tidak mau, karena memang banyak pesaingnya. Selain kemudahan, diskon juga banyak diincar oleh pasar yang kebanyakan adalah kelas menengah untuk melakukant ransaksi retail,” ujarnya.

 

Mengurangi aksi bakar duit

Sementara itu, untuk menghindari persaingan ini tentunya tidak mudah. Pada akhirnya ini bisa terjadi jika hanya ada 1-2 pemain saja, pada titik itu para konglomaerat akan mengurangi aksi bakar duitnya dalam bentuk promo dan diskon.

Eko menjelaskan, meskipun memiliki prospek yang cerah, namun bisnis e-wallet terlalu berisiko mengingat harus ditopang oleh permodalan yang kuat juga.

Ia mencontohkan, e-wallet milik BUMN yang saat ini tengah mencoba bertahan, bahkan BUMN yang cukup besar pun dinilai belum mampu mensejajarkan platform tersebut dengan pemain-pemain unggulan di kelasnya.

“Kalau pasar memang cukup menarik, tapi apakah semua akan masuk ke segmen ini? Saya rasa itu terlalu dini, karena risiko bakar duitnya gede banget. Sementara platform e-wallet yang dinaungi oleh BUMN yang segitu besarnya saja-pun boleh dikatakan bukan yang terbaik saat ini,” ujar dia.

 

Mengenal Para Investor Startup

Sebelumnya, Emtek Group melakukan akuisisi 50 persen atas saham Nusa Satu Inti Artha, atau DOKU, di akhir tahun 2016.

Tak sampai disitu, Emtek Group juga mengakuisisi saham Espay Debit Indonesia Koe (Espay) sebesar 90 persen di tahun 2017. Disusul dengan kerja sama dengan Ant Financial (Alipay) dan meluncurkan aplikasi DANA.

Sementara itu, Group Djarum menjadi investor bagi platform GoPay sejak tahun 2018. Djarum melalui anak usahanya, GDP juga berinvestasi pada platform Kaspay, milik Kaskus. Sementara Lippo merupakan perusahaan dibalik suksesnya platform OVO, namun di tahun 2019 Lippo telah menjual Sebagian saham OVO.

Salim Group, melalui jaringan retail indomaret juga berinvestasi pada iSaku sebagai platform pembayaran di gerai-gerai Indomaret.

Terbaru, emiten otomotif Astra Indonesia, yang merambah dunia e-wallet melalui AstraPay untuk memudahkan ekosistemnya dalam melakukan pembayaran transaksi produk Astra.

 

Izin yang Diperlukan untuk Penyelenggara Electronic Wallet (Dompet Elektronik)

Electronic Wallet atau Dompet Elektronik menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PBI/18/2016) adalah layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran.

Penyelenggara Dompet Elektronik sebagai salah satu jenis Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan Dompet Elektronik.[1]

Pada dasarnya, e-wallet juga bagian dari uang elektronik, namun ada beberapa hal yang membuatnya berbeda dengan e-money, perbedaannya antara lain adalah:

 

Chip based vs Server based

Uang elektronik tampil dalam bentuk chip yang ditanam pada kartu atau media lain (chip based). Uang elektronik chip based yang saat ini ada di pasar yaitu Flazz BCA, E-Money Mandiri, Brizzi BRI, Tap Cash BNI, Blink BTN, Mega Cash, Nobu E-Money, JakCard Bank DKI dan Skye Mobile Money terbitan Skye Sab Indonesia.

Sedangkan e-wallet sejauh ini banyak merujuk pada uang elektronik yang berbasis di server. Uang elektronik berbasis server dalam proses pemakaian perlu terkoneksi terlebih dulu dengan server penerbit. Di Indonesia, kita mengenal e-wallet seperti T-Cash Telkomsel, XL Tunai, Rekening Ponsel CIMB Niaga, BBM Money Permata Bank, DOKU, dan lain sebagainya.

 

Jangkauan penggunaan

Uang elektronik berbentuk kartu relatif lebih banyak jangkauan pemanfaatannya untuk transaksi sehari-hari. Mulai dari transaksi di jalan tol, pembayaran tiket transportasi publik, transaksi pembelian di gerai ritel sampai pembelian tiket di tempat hiburan, dan lain sebagainya.

Sedangkan e-wallet seperti Tcash, jangkauan penggunaan kebanyakan untuk belanja online, belanja di gerai ritel offline, pembelian pulsa telepon, juga untuk pembayaran kebutuhan rutin seperti token listrik, tagihan BPJS, tagihan TV berbayar, dan lain sebagainya.

Cara pengisian saldo
Mengisi saldo uang elektronik baik untuk yang berbasis chip atau server, pada dasarnya sama. Pengisian saldo bisa dilakukan melalui jaringan penerbit uang elektronik. Mulai dari mesin EDC, ATM, internet banking, mobile banking, juga bisa lewat merchant gerai ritel. Begitu juga untuk uang elektronik berbasis server.

Pengisiannya bisa dilakukan lewat rekening bank yang ditentukan oleh penerbit e-money maupun di merchant atau gerai ritel.

Maksimal saldo
Pada e-money, sejauh ini maksimal saldo yang bisa diisikan adalah Rp 1 juta. Sedangkan e-wallet bisa lebih dari angka itu bahkan bisa mencapai Rp 10 juta. Seperti pada XL Tunai yang bisa diisi saldo sampai Rp 10 juta.

Jadi e-wallet atau dompet elektronik ini pada dasarnya merupakan bagian dari e-money juga yang masuk kategori data disimpan di dalam server (server based).

 

Proses pendirian

Fintech bukan hanya ‘keuangan di Internet’ tetapi juga berbasis teknologi seperti internet di telepon genggam, komputasi awan dan big data, untuk mencapai inovasi dan peningkatan efisiensi dalam layanan dan produk keuangan.

Dari perspektif bisnis, sektor fintech saat ini memiliki dampak lebih besar terhadap pasar keuangan yang melibatkan empat kategori:

  1. Pembayaran dan likuidasi, uang elektronik dan teknologi blockchain
  2. Pembiayaan langsung atau tidak langsung, P2P dan crowd-funding
  3. Infrastruktur pasar termasuk big data, komputasi awan, otentikasi identitas elektronik, e-aggregator, kontrak cerdas, dll.
  4. Manajemen investasi termasuk konsultan investasi robotik, perdagangan elektronik otomasi di pasar pendapatan tetap.

 

Otoritas

Asosiasi Teknologi Keuangan di Indonesia adalah mediator penting antara regulator industri dan investor fintech.

Regulator fintech termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Sentral Indonesia BI.

Hingga saat ini, ada 159 perusahaan fintech terdaftar, dan kebanyakan merupakan anggota Asosiasi Fintech. OJK mengklaim bahwa penyebaran kredit mereka dari awal 2018 hingga Juli 2018 mencapai US$534 juta (IDR 7.8 triliun).

Selain itu, asosiasi ini juga menjadi badan pengatur yang bertanggung jawab membuat panduan industri.

Proses Inkorporasi Perusahaan Fintech
Regulasi baru dikeluarkan pada 1 September 2018 oleh OJK untuk pembentukan perusahaan fintech di Indonesia.

Regulasi baru ini disebut Regulasi Inovasi Keuangan Digital bagi Perusahaan Fintech yang digunakan OJK untuk memantau dan mengawasi pertumbuhan dan perkembangan industri fintech.

Dalam regulasi baru ini, membentuk perusahaan fintech atau platform layanan digital, baik itu institusi layanan keuangan atau perusahaan rintisan, harus melalui proses berikut:

  1. Registrasi perusahaan ke OJK. Lalu melalui yang disebut Regulatory Sandbox. Regulatory Sandbox digunakan OJK untuk menguji, mengobservasi dan menetukan bagaimana perusahaan fintech bekerja. Bagi institusi, mereka dapat menyampaikan permintaan
  2. Regulatory Sandbox dengan salah satu bidang berikut: pasar modal, perbankan atau industri keuangan non-perbankan.
  3. Keseluruhan proses Regulatory Sandbox membutuhkan waktu 12 bulan. Ini dapat diperpanjang 6 bulan lagi jika memang diperlukan.
  4. Mengajukan izin fintech di OJK.
    Inkorporasi Perusahaan – Perseroan Terbatas (PT)

 

Jika Anda ingin mendirikan perusahaan rintisan fintech, pilihan terbaik adalah pendirian badan hukum – Perseroan Terbatas (PT). Untuk terlibat dalam bisnis fintech, perusahaan Anda harus merupakan perusahaan yang mencari keuntungan, dan karenanya tidak mungkin bagi perusahaan fintech untuk mendirikan CV (Commander Association) atau yayasan dengan orientasi nirlaba.

Saat mendirikan PT bagi bisnis fintech, Anda dapat memisahkan aset perusahaan dari aset pribadi. Seandainya bisnis Anda mengalami kerugian, aset perusahaan Anda yang menjadi taruhannya, bukan aset pribadi.

Pemegang Saham dan Kepemilikan
Kepemilikan menjadi salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan saat ingin mendirikan perusahaan fintech. Dalam kasus ini, orang asing dapat menjadi pemilik perusahaan fintech. Namun, kepemilikan asing maksimumnya adalah 85%.

Selain itu, orang asing hanya dapat memindahkan saham setelah memperoleh persetujuan dari OJK.

Modal Investasi
Modal disetor minimum sejumlah IDR 1 miliar adalah wajib dan harus disampaikan saat registrasi perusahaan ke OJK. Selain itu, ada pula modal disetor minimum lain sejumlah IDR 2.5 miliar saat proses perizinan.

Bukti deposit modal diwajibkan saat aplikasi izin ke OJK. Saat perizinan tidak diselesaikan, perusahaan tidak diizinkan mengambil modal bagi tujuan operasional perusahaan.

Perizinan dan Aplikasi Izin
Begitu perusahaan Anda terdaftar, proses selanjutnya adalah aplikasi izin. OJK mengizinkan tenggat waktu maksimum 12 bulan untuk mengajukan izin begitu proses registrasi selesai. Jika perusahaan gagal melakukannya, sertifikat registrasi mereka akan menjadi tidak sah, dan mereka harus kembali melakukan registrasi.

Setiap bisnis dapat dimasuki penipu, begitu pula dengan bisnis fintech. Oleh karena itu, untuk mencegah aktivitas ilegal, Anda perlu mendapatkan izin PSE dari Depkominfo.

OJK juga berupaya bersinergi dengan Depkominfo sehingga penipuan dapat diminimalisasi.

Izin Tambahan untuk Bisnis P2P
Satu hal yang perlu diingat adalah tergantung pada jenis bisnis fintech Anda, izin tambahan mungkin diwajibkan untuk mematuhi hukum baru. Misalnya bisnis peminjaman P2P (Peer to Peer) harus memperoleh izin tambahan dari OJK.

Hal ini untuk mencegah bisnis P2P yang sama ambruk karena di Tiongkok bisnis yang tidak teregistrasi dan dioperasikan secara ilegal menyebabkan banyaknya nyawa pengguna P2P yang hilang.

Saat tahap perizinan, perusahaan harus menyerahkan rencana bisnis tahun pertama mereka yang berisi penjelasan kegiatan bisnis yang telah direncanakan, tujuan serta cara memenuhi target dan proyeksi keuangan.

Penundaan dalam Registrasi dan Aplikasi Izin
Sayangnya, karena kebanyakan perusahaan fintech adalah perusahaan rintisan yang dimulai dari kecil, mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penundaan dalam melakukan registrasi dan mengajukan izin dengan OJK terlambat.

Mereka mungkin beroperasi dengan bantuan investor atau pendanaan pribadi yang berujung pada eksploitasi pekerja ilegal dan kemungkinan penipuan pajak.

Per September 2021, OJK telah menemukan 182 perusahaan fintech ilegal, dan mereka tak lagi dapat menjalankan bisnis mereka. Oleh karenanya, Cekindo menganjurkan para investor yang ingin mendirikan perusahaan fintech agar melalui proses yang diwajibkan hukum Indonesia.

Jika perusahaan Anda ditemukan tidak terdaftar di OJK atau tanpa izin spesifik, akan ada konsekusensi buruk terhadap keseluruhan ekosistem fintech.

 

Kesimpulan pembahasan

Dompet elektronik merupakan layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana untuk melakukan pembayaran.

Perizinan Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran

Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (termasuk Penyelenggara Dompet Elektronik) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.[2]

Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik harus berupa:[3]
a. Bank; atau
b. Lembaga Selain Bank (berbentuk perseroan terbatas).

Pihak yang telah memperoleh izin dan akan melakukan:[4]
a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran;
b. pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran; dan/atau
c. kerja sama dengan pihak lain,

wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (dompet elektronik) harus memenuhi persyaratan, yaitu:[5]

a. Umum[6]
1) Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik harus berupa:
a. Bank; atau
b. Lembaga Selain Bank.

2) Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara Dompet Elektronik harus berbentuk perseroan terbatas.

3) Bank atau Lembaga Selain Bank yang wajib mengajukan izin sebagai Penyelenggara Dompet Elektronik adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan Dompet Elektronik dengan pengguna aktif telah mencapai atau direncanakan akan mencapai jumlah paling sedikit 300.000 pengguna.[7]

b. Aspek kelayakan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputi:[8]
1. legalitas dan profil perusahaan;
2. hukum;
3. kesiapan operasional;
4. keamanan dan keandalan sistem;
5. kelayakan bisnis;
6. kecukupan manajemen risiko; dan
7. perlindungan konsumen.

Bagi pihak yang akan mengajukan izin untuk menjadi Penyelenggara Dompet Elektronik yang dapat juga menampung dana maka pemenuhan persyaratan:[9]
a. kecukupan manajemen risiko; dan
b. perlindungan konsumen,

harus mencakup pula manajemen risiko dan perlindungan konsumen terkait pengelolaan dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik.

Pemenuhan persyaratan umum berupa Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara Dompet Elektronik harus berbentuk perseroan terbatas dan persyaratan aspek kelayakan berupa kelayakan bisnis dan kecukupan manajemen risiko bagi Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara Dompet Elektronik juga mempertimbangkan kecukupan modal disetor paling sedikit Rp3 miliar.[10]

Jadi, pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (termasuk Penyelenggara Dompet Elektronik) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.

Dalam artikel Informasi Perizinan Penyelenggara dan Pendukung Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana yang kami akses melalui laman Bank Indonesia, disebutkan bahwa ada 27 perusahaan masuk dalam daftar penyelenggara uang elektronik yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia, beberapa diantaranya adalah PT Dompet Anak Bangsa atau GoPay milik GoJek (sejak September 2014) dan PT Visionet Internasional atau OVO (sejak Agustus 2017).

Dasar hukum:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/41/DKSP Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

[1] Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 3 ayat (1) huruf i PBI/18/2016
[2] Pasal 4 ayat (1) PBI/18/2016 jo. Pasal 3 ayat (1) huruf i PBI/18/2016
[3] Pasal 7 PBI/18/2016
[4] Pasal 4 ayat (2) PBI/18/2016
[5] Pasal 5 ayat (1) PBI/18/2016
[6] Bagian II huruf A angka 1 huruf c Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/41/DKSP Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (“SEBI 18/2016”)
[7] Pasal 8 PBI/18/2016
[8] Pasal 9 ayat (1) PBI/18/2016
[9] Pasal 9 ayat (2) PBI/18/2016
[10] Bagian II huruf A angka 3 SEBI 18/2016