July 27, 2024
Masyarakat Muak dengan Baliho Politikus

Masyarakat Muak dengan Baliho Politikus

Political gimmicks ini merefleksikan bahwa para politisi dan partai politik memang miskin visi-misi, tak memiliki konsep yang jelas dan solid tentang mau dibawa ke mana Indonesia

 

Oleh Imam S Ahmad Bashori Al-Muhajir
Reportase Poli Tikus Indonesia

 

Kontrolsosial.com: Pakar Komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik.

“Secara umum billboard/baliho/media luar ruang memiliki keunggulan: mudah dilihat, karena diletakkan di jalan-jalan yang terbukti banyak dilalui kendaraan. Ukurannya yang besar, secara struktural ‘memaksa’ orang untuk melihatnya. Apalagi kalau diletakkan di kawasan yang strategis pasti tak terhindarkan orang lewat tak bisa mengelak”, kata Firman (Rabu,04/08).

“Selain itu, pada ukurannya yang ekstra besar, biasanya pesan yang dimuat tak banyak. Karena waktu yang singkat, orang untuk melalui jalanan. Sehingga pesan akan sistematis dan fokus. Dalam keadaan jumlahnya tak berlebihan, di jalan tempat memasang baliho, alat komunikasi ini akan menarik perhatian dan mampu mengantarkan pesan”, lanjutnya.

 

Masyarakat jenuh

Menurut Firman di musim kampanye perang baliho antarpolitikus akan menjadi kejenuhan bagi masyarakat. Sehingga menurutnya, pesan yang ada di baliho tidak sampai di masyarakat, tapi malah sebaliknya.

“Namun, dalam musim kampanye atau event lain, di mana terjadi kompetisi baliho, justru kejenuhan yang terjadi. Pesan memang memaksa masuk, tapi persepsi yang terbentuk bisa negatif. Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan. Masyarakat menolak pesan”, ujarnya.

Lebih baik dilakukan di media sosial
Firman menilai seiring perkembangan teknologi aspek kreativitas dibutuhkan agar pemasangan baliho menjadi efektif. Lebih baik lagi menurutnya jika baliho itu membuat masyarakat bergerak untuk membagikan ke media sosial.

“Aspek kreativitas misalnya, berupa tampilan unik baliho, yang membuat orang memperhatikan, memotretnya, dan memuatnya di media sosial. Di sini, baliho yang kreatif mengalami alih wahana ke media lain. Lebih banyak orang yang menyimak ketika tampil di media sosial, karena ada orang ingin menceritakan keunikannya”, ucapnya.

Hal kreatif lain, menurut Firman, adalah pemasangan sensor di baliho, sehingga pesan yang ada di baliho dapat terdeteksi langsung di alat komunikasi yang dimiliki para pemakai jalan yang melewati baliho tersebut.

“Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi, baliho bisa dipasangi sensor yang mampu merekam kartu seluler apa saja yang dipakai pengendara kendaraan, dan melewati baliho. Hasil perekaman ini bisa dianalisis: yang banyak lewat, pemakai kartu prabayar atau pascabayar? Dari operator mana? Jam berapa baliho dilewati? Berapa lama melintas di depan baliho? Sehingga, dengan data yang dipanen, dapat disusun pesan yang lebih tepat, sesuai karakter orang yang melintasinya”, lanjut Firman.

 

Bukan sekadar jumlah dan posisi pemasangan

Menurut Firman, penggunaan baliho bukan lagi terkait jumlah atau di mana baliho itu terpasang. Firman mengatakan hal itu akan sia-sia.

“Jadi baliho hari ini bukan sekadar urusan kuantitas: besar, banyak, ada di mana-mana, memampangkan foto politikus atau pejabat publik. Bahkan ada baliho yang berisi imbauan dari lembaga tertentu yang panjang dan rinci. Ini pasti tak digubris pemakai jalan, karena waktu mereka yang pendek dan pesan yang membosankan”, ujarnya.

“Dengan memanfaatkan teknologi, bisa disusun pesan yang tepat, sesuai perilaku pengguna jalan. Terlebih jika baliho dapat hadir sebagai properti keindahan sebuah kota. Bukan malah merusaknya”, tuturnya.

 

Boleh Sosialisasi Asal Tidak Ajak Memilih

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memperbolehkan partai politik (parpol) melakukan sosialisasi kepada masyarakat jelang Pemilu Serentak 2024. Namun dia menegaskan parpol dilarang mengajak masyarakat untuk memilih karena belum masuk dalam masa kampanye.

“Silakan parpol kenalkan program kerja dan visi misi yang diusung oleh partai. Bisa dengan cara door to door ke rumah warga. Tetapi jangan ajak warga untuk memilih”, katanya. (Kamis,21/7/2022).

Selain itu, sambung Bagja, parpol juga dilarang menggunakan fasilitas negara. Seperti mobil plat dinas dipakai untuk akomodasi pengurus saat tatap muka dengan warga, lalu gedung atau rumah milik negara dipakai untuk pertemuan internal.

“Fasilitas negara hanya digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat. Bukan untuk kepentingan di luar itu”, tegas Bagja.

Alumni Universitas Utrecht Belanda ini menuturkan, parpol dibolehkan untuk membagikan atribut ketika bertemu warga. Walau begitu, dia menuturkan aktivitas seperti membagikan amplop yang berisi uang, menjelekkan atau menyerang nama partai lain tetap dilarang.

“Jangan sebarkan yang aneh-aneh. Kaos dan atribut boleh. Amplop berisi kartu nama atau stiker boleh saja. Jangan diisi yang lain nanti bisa bermasalah”, ujarnya.

Pria kelahiran Medan Sumatera Utara ini menambahkan, parpol boleh memasang atribut partai seperti spanduk, baliho dan semacamnya. Sebab Bawaslu tidak punya wewenang untuk mengatur tersebut selama belum masuk masa kampanye. Saat ini belum masuk masa kampanye Pemilu Serentak 2024. Masa kampanye akan dimulai pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Terhitung hanya 75 hari.

“Spanduk dan semacamnya itu kewenangan daerah masing-masing. Selama dimungkinkan untuk memasang spanduk pada masa sekarang, silakan saja”, ungkapnya.

 

Miskin Visi-Misi

Politik gimik masih mendominasi para politisi dan partai politik dalam meraup perhatian publik. Tak terkecuali bagi pada kandidat yang digadang-gadang bakal maju pada Pemilu 2024.

Sadar akan hal itu, Yhodhisman Soratha mendorong para politisi dan partai politik untuk menghentikan politik gimik dan lebih mengedepankan visi misi.

“Political gimmicks ini merefleksikan bahwa para politisi dan partai politik memang miskin visi-misi, tak memiliki konsep yang jelas dan solid tentang mau dibawa ke mana Indonesia”, Yhodhisman Soratha. Sabtu (1/1).

Beberapa gimik yang kerap dimunculkan yakni aksi marah-marah kepada anak buah, kunjungan ke tempat musibah dengan publikasi yang masif, hingga makan di pinggir jalan.

“Tentu saja kepedulian seperti marah atau bersilaturahmi ke rakyat itu perlu., tapi tidak cukup. Kalau hanya itu, siapa pun bisa. Seorang pejabat publik seharusnya menyajikan solusi yang bersifat sistemik dan komprehensif”, ujar Yodhisman.

Yhodhisman Soratha berpendapat, kondisi Indonesia sekarang masih jauh dari ideal sebagai sebuah negara dan bangsa. Masih banyak upaya yang harus dikerjakan oleh para pembuat kebijakan.